Momok Matematika Di Sekolah Dasar

Masa sekolah adalah masa yang paling menegangkan untuk seorang anak, masa dimana keadaan sangat kompetitif hingga kadang menyebabkan tidak sedikit anak yang stress. Keadaan dimana nilai ujian sekolah menjadi suatu hal yang sangat didambakan oleh orang tua terhadap anaknya. Maka tidak heran banyak bertebaran kursus-kursus atau les yang menjamur, yang seolah menawarkan solusi agar anak dapat belajar diluar sekolah.

Sebenarnya didalam keluarga Saya iklim kompetitif tersebut tidak terlalu berlaku sih, hal itu karena Ibu bukan tipikal orang tua yang menginginkan anaknya selalu pandai dan kompetitif, namun hal tersebut berkebalikan dengan Ayah yang tampaknya agak kuatir dengan perkembangan Saya pada saat itu. Namun karena pekerjaan Ayah yang tidak selalu hadir di rumah membuat Saya tidak merasa tertekan dengan hal tersebut.

Namun Saya pernah merasa bersalah karena selalu mendapatkan nilai yang buruk di Sekolah Dasar, apalagi pelajaran matematika merupakan momok yang menakutkan dimana kegagalan selalu terbayang didepan mata. Maka cara satu-satunya untuk memperbaikinya adalah dengan ikut kursus atau les matematika.

Dan akhirnya Saya ikutan les pada seseorang yang bernama Mbak Mona seorang tetangga didepan rumah, banyak juga teman – teman yang ikut les tersebut, rata – rata teman – temanku ini jago matematika. Mungkin pengajaran Mbak Mona memang bagus sehingga mereka bisa pintar begitu ya?

Namun ternyata les matematika adalah momok kedua yang harus dihadapi setelah sekolah, rasanya memang otak yang kurang encer, memang bodoh mungkin, namun rasanya memang sulit untuk berlogika di usia ku kira – kira 9 th itu. Sebenarnya keinginan untuk berkompetitif dan dianggap mampu selalu terbersit di kepala, tapi…ya lagi lagi gagal mewujudkan karena memang sulit sekali berlogika apalagi matematika. Ingin sekali seperti teman – teman yang kompetitif dan mengacungkan tangan saat ada sesi kuis Tanya jawab yang disebut mengcongak (lupa-  lupa inget sebutannya). Dan satu hal yang Saya ingat adalah kata – kata Mbak Mona kepada penulis yaitu “Kamu banyak – banyak makan bakmie supaya pinter kayak Jimmy”. Dan aku cuma diam menganggap kata – kata itu memang benar adanya karena memang kakak kelasku si Jimmy ini memang pintar, dan mungkin aku harus banyak makan bakmie supaya pintar. Ahh memang Saya aja ya yang begonya kebangetan haha. Bahkan di sekolah juga udah langganan untuk kena semprot guru matematika saking begonya kebangetan juga sering ramai ngomong sendiri bahkan cenderung tidak bisa diam, badan rasanya pengen gerak terus dan mulut tidak bisa diam hahaha.

Akhirnya, Ibuku menyuruh untuk tidak ikut les lagi, Ibuku bilang “Mbak Mona udah bilang ke Ibu ga sanggup untuk bikin kamu pinter matematika”. Saya cuma tersenyum sambil lega, bahwa tidak ada lagi momok yang kedua. Namun rupanya Ibu masih mencari cara, suatu hari ada seorang sales datang ke rumah menawarkan paket konsep pembelajaran pintar untuk anak, dimana paket tersebut adalah kaset dan buku pelajaran satu koper yang saat itu yaaa kira-kira tahun 1990 sudah seharga Rp 400.000, bayangan bahwa mungkin paket itu bisa membantu anaknya pintar membuat ibu tidak keberatan mengeluarkan uang sebanyak itu. Dan ternyata lagi – lagi memang susah untuk diaplikasikan hehehe selain karena memang malas belajar dan malah tidak mudeng sama sekali.

Entah bagaimana Saya dapat melewati momok matematika di sekolah dasar, namun yang Saya ingat adalah dukungan Ibu yang sepertinya memang bukan tipikal pemarah apalagi penuntut, serta mencoba menikmati pelajaran dengan santai.

Entah tiba – tiba bagaimana dapat melewati hal tersebut, andaikan Saya bertemu kembali dengan Mbak Mona mungkin Saya akan jabat erat tangan Mbak Mona seraya berujar terima kasih. Dan terima kasih untuk Ibu yang super sabar, bukan tipikal kompetitif dan santai. Disaat seperti sekarang ini orang tua kembali menerawang dan menepuk bahuku sambil bilang “Dulu kamu kok bego banget ya, sekarang malah lulusan jurusan hitung – menghitung”. Sebuah hal yang mungkin ga pernah terbersit di otak Saya maupun orang tua penulis sebelumnya, jadi jangan pernah patah arang atau berhenti berharap pada seorang anak yang mungkin masih belum mampu berpikir dengan baik, mungkin nanti anak tersebut bisa berubah menjadi lebih baik. Amin.